Kopi TIMES

Melegalkan Korban Massal dengan Gerakan Menolak Berita Pandemi

Senin, 02 Agustus 2021 - 10:46
Melegalkan Korban Massal dengan Gerakan Menolak Berita Pandemi Edi Junaidi DS, Jurnalisi TIMES Indonesia.

TIMES PARE PARE, JAKARTA – Beberapa waktu lalu tersebar ajakan untuk berhenti membaca berita soal Covid-19 yang dikirim lewat pesan singkat media sosial di beberapa titik daerah di Indonesia. Berdasarkan penelurusan Aliansi Jurnalisme Independen (AJI) ajakan  bernada mobilisasi tersebut dilengkapi dengan poster dan narasi dijumpai di kota-kota seperti Bojonegoro, Lamongan, Gresik, Purbalingga, Banyumas, Semarang, Yogyakarta, Majalengla dam Cirebon.

Anasir lain bahwa gerakan ini sangat sistematis mengingat desain dan bentuk ajakan berbeda-beda. Gejala setidaknya memperjelas posisi Indonesia dalam mencapai sukses dalam menanggulangi penyebaran Covid-19 juga berhadapan langsung dengan animo segelintir oknum yang mencoba menonjolkan perspektif sempit kepada publik untuk diikuti. Kampanye demikian juga beresiko pada profesi jurnalisme yang juga mengalami dampak serta pembodohan perlahan akibat membunuh saluran literasi publik.

Frekuensi publik semakin mudah digeser dengan tingkat tekanan pada psikologis serta respon berita yang terlalu mudah dimaknakan oleh dengan kepentingan oknum tidak bertanggung jawab. Bukan pertama kalinya bahwa dari pengalaman wabah sebelumnya media sosial menjadi muara yang mempermudah orang masa bodoh.

WHO mencatat aktivitas media sosial selama pandemi berawal mulai dari pandemi H1N1 2009, melacak prevalensi informasi yang salah (ditentukan sebanyak 4,5%), sentimen dan ketakutan publik, dan hubungan antara insiden kasus dan perhatian publik. WHO menyatakan bahwa mereka saat ini memerangi tidak hanya epidemi internasional tetapi juga infodemik media sosial, dengan beberapa media mengklaim bahwa virus corona adalah infodemik media sosial pertama yang benar karena telah mempercepat informasi dan kesalahan informasi di seluruh dunia dan memicu kepanikan dan ketakutan di antara orang-orang. 

Media Australia ABC News pernah melaporkan jajak pendapat yang mengklaim bahwa di era media sosial, kecemasan tentang virus corona menyebar lebih cepat daripada virus itu sendiri, mengakibatkan kepanikan publik di seluruh dunia. Di sisi lain, media sosial juga merupakan platform praktis untuk penyebaran pesan kesehatan masyarakat kepada khalayak.

BBC News juga berpendapat bahwa mendengar banyak informasi dan berita tentang Covid-19 telah mempengaruhi publik dan menciptakan kepanikan, menyebabkan orang hidup dengan kecemasan. Sejalan dengan itu, tidak bisa ditolak ekspektasi orang bergantung pada media sosial untuk mendapatkan informasi dan fakta tentang Covid-19, karena itu beberapa negara menggunakan filter, itulah sebabnya media sosial memberikan beberapa informasi tetapi tidak semua fakta.

Menurut surat kabar The Star, media sosial bertanggung jawab atas sebagian besar kepanikan seputar COVID-19, yang secara internasional mengarah ke situasi di mana perusahaan media sosial mencoba menghapus postingan tentang Covid-19 dari platform mereka.

Media massa telah dipanggil untuk mengambil tanggung jawab untuk menyediakan informasi yang benar dan membantu pemahaman di antara warga negara. Sudah ada tindakan yang yang menysara untuk melakukan pemblokiran dan pembatasan pada misinformasi di media sosial. WHO misalnya mengklaim bahwa perusahaan media sosial memicu informasi yang salah tentang Covid-19 di seluruh dunia, beberapa perusahaan media sosial mencoba menghapus informasi palsu dari platform mereka.

Silang sengkarut pendapat di publik juga dimanfaat oleh tangan nakal untuk menelurkan opini tanpada dasar yang memenuhi lini timeline media sosial kita. Ajakan menolak membaca berita ini sebenarnya juga menjadi autokritik pada instrument media sendiri untuk secara hati-hati dalam prodak jurnalistiknya dalam melampirkan permberitaan Covid-19. 

Desakan publik pada informasi yang valid memang sudah terasa juga di berbagai negara maju yang terdampak Covid-19 ini. Victor (2020) warga Tiongkok pernah tidak mendapatkan cukup fakta tentang COVID-19, itulah sebabnya mereka bergantung pada media sosial dan membagikan informasi, foto, dan video mereka secara luas, terkadang tidak akurat.

Demikian juga, di India, pemerintah telah meminta perusahaan media sosial terkemuka seperti Facebook, YouTube, TikTok, ShareChat, dan Twitter untuk berhenti menerbitkan informasi yang salah, karena menimbulkan kepanikan di antara orang-orang. Demikian pula, Emmott (2021) mencatat bahwa, menurut dokumen Uni Eropa, media Rusia telah menerbitkan "kampanye disinformasi yang signifikan" tentang wabah COVID-19 untuk menciptakan kepanikan di kalangan publik di negara-negara Barat sekalipun dugaan ini masih menjadi perdebatan hanya di eropa mengenai valid tidaknya.

Terlampau Mencari Pembenaran?

Ruang publik di abad ke-21 telah mengalami transformasi yang dihasilkan oleh adopsi teknologi komunikasi online. Media baru telah menjadi sumber informasi kesehatan yang penting dan platform untuk mendiskusikan pengalaman pribadi, pendapat, dan kekhawatiran mengenai kesehatan, penyakit, dan pengobatan. Saat ini semua orang ingin bercerita kerena memang tidak salahnya kita disebut Homo Narran atau mahluk pencerita. Sesumbar di media sosial semakin sesak sulit dipilah. Pada akhirnya titik ini mengalami kulminasi serius orang sudah tidak memiliki posisi landasan soal pandemi ini. Pada akhirnya munculnya kampanye menolak baca berita sebagai hasil dari konsumsi publik pada informasi tidak kredibel dan subjektif dengan instrumental berbagi. 

Gerakan tersebut juga sangat berbahaya karena posisi media di Indonesia juga sangat berdampak. Sejumlah pekerja sudah merasakan pil pahit sampai di mana titik PHK. Perusahaan media juga harus hati-hati dalam melampirkan ekpresi publik dalam kepenikan karena itu mudah menyebar dengan cepat. Dalam publik yang panik siapapun akan mudah tidak dipercaya bahkan media yang sudah mengusung jurnalisme data sekalipun. Kita mesti tahu bahwa ruang redaksi di seluruh negara juga telah menjadikan liputan pandemi sebagai prioritas. Tetapi sifat data COVID-19 yang selalu berubah dan terkadang tidak diverifikasi telah membuat jurnalis dan peneliti kesulitan dalam memberikan informasi yang akurat kepada publik.

Dasar yang paling sederhana setidaknya kita bisa menguatkan dari beberapa sisi ini. Pertama, kuatkan kembali komitmen pemerintah dengan terus menggandeng media dalam proses komunikasi satu suara. Ambil contoh lalngkah Australia, kampanye informasi surat kabar dan televisi telah diumumkan oleh Perdana Menteri sebagai sumber informasi bagi publik selama pandemi COVID-19 yang berkembang. Melalui berbagai bentuk media ini, respons kesehatan masyarakat dan ekonomi terhadap pandemi di Australia telah dilakukan dengan cepat dan disarankan oleh pejabat kesehatan masyarakat dan ahli epidemiologi. Kedua, sudah tentu galakkan kembali format penangkalan hoaks dengan detail karena biasanya misinformasi di Indonesia sangat khas dan muatannya pun lebih simultan alias musiman. Ketiga, kuatkan literasi publik dengan sebaran panduan yang mudah diakses publik lintas kelas sosial. Alasan ini karena publik memang terasa cukup malas dalam mencari sumber khusus dan hanya mengambil yang gampang.

Terakhir, kita mesti ingat bahwa pembingkaian tanggung jawab selama krisis kesehatan dikenal sebagai mekanisme yang masuk akal dan mengatasi individu, tetapi juga dapat menyebabkan stigmatisasi kelompok yang terkena dampak. Media mendapatkan amanah besar dalam menempatkan tanggung jawab atas krisis kesehatan, seperti pandemi, dan desakan pada kekecewaan oknum-oknum tertentu. Serta media juga mampu memediasi perilaku panik masyarakat dengan menimbulkan rasa keberbedaan yang memiliki efek meredakan ketakutan dengan membingkainya sebagai berita positif.

***

*) Oleh: Edi Junaidi DS, Jurnalisi TIMES Indonesia.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta :
Editor : Wahyu Nurdiyanto
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Pare Pare just now

Welcome to TIMES Pare Pare

TIMES Pare Pare is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.